Tradisi ilmiah, adalah dua buah kata yang selalu terucap, tersemat, terpampang dalam slide ketika saya mengikuti kuliah jam pertama di hari kamis. Cukup menarik juga untuk diamati tentang apa yang terjadi dengan tradisi ilmiah bangsa Indonesia. Bangsa kita adalah bangsa yang tertinggal dalam pendidikan, apalagi dalam hal-hal yang berbau ilmiah, jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Mengapa begitu? Tentu jawabannya adalah subyektif. Pertanyaan semacam ini tidak memiliki jawaban pasti bagi setiap orang. Terlepas dari apa yang ditanyakan (dan dengan sedikit “peduli” pada jawaban pertanyaan ini), sebenarnya yang perlu kita cari tahu adalah alasan mengapa tradisi ilmiah bangsa kita begitu buruk.
Fakta membuktikan bahwa dari 2,6 juta guru di Indonesia, untuk guru golongan IVB hanya 0,87 persen, guru golongan IVC 0,07 persen, dan golongan IVD 0,02 persen. Kenapa harus guru yang menjadi acuan??? Karena ada ungkapan “untuk menghasilkan murid yang hebat, diperlukan guru yang hebat”. Secara pribadi, guru yang sukses menurut saya adalah guru yang bisa menghasilkan murid yang lebih pandai dan lebih sukses dari gurunya. Nalarnya tentu saja mudah, bagaimana seorang murid bisa pandai jika gurunya saja tidak pandai???? Mau tidak mau, dan diakui atau tidak, gurulah yang “ikut” menentukan sukses tidaknya seorang murid. Jika tidak begitu, untuk apa ada sekolah, untuk apa ada guru, untuk apa ada kuliah, untuk apa ada dosen? Harus kita ingat bahwa masa depan bangsa Indonesia ada pada tunas-tunas yang masih duduk di bangku sekolah dan kuliah.
Nah, salah satu budaya memprihatinkan di masa-masa dunia pendidikan sekarang adalah sistem pendidikan satu arah yang diterapkan guru dan dosen (centralized teaching). Guru adalah segala pusat ilmu pengetahuan, atau dengan Istilah Paulo Freire, salah seorang tokoh pendidikan Brazil, “The banking concept”, di mana anak didik hanya dianggap sebagai bejana kosong yang harus diisi yang semuanya oleh dan dari dosen. Kebanyakan para murid hanya mencatat, mengulangi apa yang diucapkan oleh gurunya, menghafal, dan juga menerima mentah-mentah setiap hal yang diberikan oleh sang guru (terkadang tanpa ditelaah makna dan arti dari materi yang diajarkan). Hal ini bisa secara bertahap menimbulkan kebekuan berfikir bagi para murid. Inilah yang disebut Freire tenggelam dalam kebudayaan bisu (the culture of silence). Murid yang sebenarnya pandai aktif juga terkadang merasa “ogah” bila harus diajar dengan guru yang suka memasang wajah-wajah killer, suka membodoh-bodohkan, dan berbagai hal absurd lainnya. Selain itu, pola pembelajaran centralized teaching dapat menyebabkan suatu “kemandulan” berpikir. Para murid yang seharusnya merupakan subyek pembelajaran, berubah menjadi sebuah objek pembelajaran dengan sistem yang seperti ini. Guru berada di kelas dengan jiwa “father knows best”. Guru tahu segalanya dan murid tidak tahu apa-apa. Guru tidak bisa salah dan sebaliknya murid selalu salah. Imajinasi, inovasi, dan kreativitas para murid tidak akan berkembang karena yang biasa (dan selalu) dilakukan para murid hanyalah menghafal. Dampaknya tentu saja adalah suatu “budaya mengekor”. Mereka tidak dididik untuk berkembang, kreativitas mereka mati dengan pola pembelajaran seperti ini. Dan yang paling parah, selamanya para murid tidak akan bisa mandiri jika terus-menerus diterapkan centralized teaching oleh sang guru. Mengutip apa yang sering diajarkan kakek saya, kebiasaan akan berubah menjadi watak. Kebiasaan-kebiasaan yang mungkin bagi sang guru tidak bisa disebut buruk, tetapi secara perlahan telah “membunuh kreativitas” dan akhirnya tetap “menyesatkan” pola pikir ilmiah sang murid.
Berbicara mengenai tradisi ilmiah (dan memang itulah yang menjadi tema dari tulisan ini), tidak bisa lepas dari apa yang disebut dengan membaca. Membaca adalah langkah awal dalam memelihara dan mengembangkan tradisi ilmiah dalam diri seseorang maupun sebuah komunitas. Ia menjadi gerbang antara ketidaktahuan (ignorance) dan kejelasan (clarity) mengenai berbagai hal. Tengoklah, dalam sehari kita hidup (24 jam) berapa banyak waktu yang diluangkan untuk membaca? Berapa banyak buku yang kita miliki di ruang baca rumah kita? Berapa uang yang biasa kita alokasikan untuk membeli buku-buku berkualitas? Sebagai perbandingan, dapat kita cari contoh yangt sangat sederhana, dan sangat real di dunia mahasiswa. Berapa lama kita “bersentuh-sentuhan” dengan handphone dalam satu hari hidup kita? Berapa banyak uang yang kita gunakan untuk membeli pulsa setiap bulan, bahkan setiap minggunya? Satu kata yang paling tepat setelah kita bandingkan keduanya adalah TRAGIS. Dengan tradisi ilmiah yang masih rendah (dan tetap minim sekali niat untuk mengembangkannya), para mahasiswa telah diperbudak dengan apa yang disebut handphone. Manusia masih bisa hidup tanpa buku, tapi tidak dapat hidup bila tidak ada handphone. Mind-set seperti itulah yang kini (benar-benar!) terpatri. Fakta di atas menunjukkan minat baca yang memang sangatlah rendah. Dan fakta di atas juga menggugurkan alasan bahwa buku-buku itu mahal untuk dibeli, tidak jarang harganya mencapai ratusan ribu rupiah (bagaimana dengan harga pulsa???). Dan memang alokasi dana untuk membaca sangatlah tidak sepadan jika dibandingkan dengan alokasi dana untuk mengisi pulsa handphone tercinta. Keberadaan perpustakaan yang notabene memberikan suatu “ilmu gratis” juga tidak dimanfaatkan. Buku-buku yang berjajar rapi di perpustakaan, menanti seseorang untuk membuka dan membacanya, lebih sering teronggok di tempat. Tengoklah tanggal pinjam yang sering tertera di bagian belakang buku. Terkadang mencapai 6 bulan, bahkan ada pula yang sampai bertahun-tahun. Interval-interval yang termuat di sana menunjukkan bahwa buku-buku di perpustakaan memang lebih banyak menganggur di tempat, daripada dibaca oleh para mahasiswa untuk mengisi waktu luangnya saat tidak sedang kuliah. Membaca adalah suatu investasi, yang mendekatkan kita langkah per langkah menuju pengetahuan dari dunia yang luas ini. Sekali minat baca rendah (dan memang hal inilah yang menjadi fondasi dalam tradisi ilmiah), niscaya tradisi ilmiah akan berangsur memudar (jika tidak mau kita sebut lenyap).
Kembali ke masa kanak-kanak kita, apa yang bisa kita lakukan dan pelajari kemudian setelah belajar membaca? Jawaban yang bisa kita ketahui dengan mudahnya jika kita berkunjung dan melihat ke taman kanak-kanak adalah menulis. Garis tegas yang membedakan antara masa prasejarah dengan sejarah adalah masa penggunaan tulisan. Melalui tulisan, manusia mengenal dan mengkaji kejadian, sejarah serta mendokumentasikan perkembangan peradaban suatu entitas maupun komunitas tertentu, dengan presisi yang lebih dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Kadang kala kita begitu lancar dalam mengungkapkan sesuatu, tapi mendadak lesu seketika jika harus menuangkan gagasan kita ke dalam bentuk tulisan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan komunikasi verbal, karena memang tidak setiap saat kita bisa berjumpa dengan orang-orang yang kita inginkan. Terlebih komunikassi verbal (mau tidak mau) juga sangat bergantung pada yang namanya ingatan (memory). Apa yang kita tuliskan juga dapat menjadi suatu rujukan ilmiah, dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan. Menulis adalah langkah kedua yang amat menentukan dalam pewarisan tradisi ilmiah. Budaya menulis sesungguhnya adalah suatu kebiasaan baik (good habit) yang bisa dikondisikan dan ditumbuhkan. Akan sangat indah jika para guru dan dosen membiasakan murid dan mahasiswa mereka untuk menulis, tapi dengan suatu rangsangan ilmiah tertentu. Misalnya penulisan suatu artikel (karangan pribadi, atau referensi jurnal) untuk dijadikan suatu tugas (bahkan terkadang tulisan itu harus bisa dimuat di media massa) dan memberikan penambahan nilai bagi para mahasiswa. Dengan tugas-tugas semacam ini otak mahasiswa akan dipacu untuk berkreasi, berpikir lebih, dan berusaha menghasilkan suatu tulisan yang berkualitas. Dengan sistem tugas yang diberikan dengan diharuskan membaca referensi jurnal, secara tidak langsung para mahasiswa akan membaca jurnal-jurnal yang ada. Dan kita tidak lupa, seperti yang telah tertera di atas bahwa membaca merupakan langkah paling awal untuk mengembangkan tradisi ilmiah. Pemberian tugas semacam ini benar-benar bermanfaat bagi para mahasiswa ke depannya. Mereka tidak hanya biasa mencatat materi yang dituliskan di papan tulis, mengopy slide para dosen, dan mencetak handout. Dengan pemberian tugas menulis semacam ini, kreativitas akan tetap hidup dan budaya tulis-menulis akan tumbuh subur (sama halnya dengan apa yang tengah saya lakukan sekarang). Pembentukan komunitas-komunitas penulis juga akan mempercepat pengembangan budaya menulis ini. Melalui komunitas ini, arus informasi dan pertukaran pengalaman menulis diantara anggotanya bisa berlangsung dengan baik.Sehingga peningkatan kemampuan dan produktifitas diantara mereka akan berjalan secara konsisten. Kendala yang menghalangi budaya menulis tulisan ilmiah di ranah Indonesia ini adalah susahnya mendapatkan referensi. Akhirnya hal ini dapat “diakali” seperti pada langkah awal tadi, suatu tempat yang disebut perpustakaan. Tidak perlu keluar uang banyak untuk mencari ilmu. Selain itu, kurangnya rangsangan dari luar juga menghambat tumbuhnya budaya menulis, antara lain kurangnya apresiasi secara materil bagi para penulis di Indonesia. Para penulis mendapatkan insentif yang relatif kurang memadai ketika karya-karya mereka diterbitkan dalam suatu media massa.Nilai materiil yang sedikit inilah yang juga menyurutkan niat untuk menulis, dan mengirimkannya ke media massa. Tidak sesuai antara honor yang diterima dengan waktu dan pikiran yang terbuang jika mau dibandingkan.
Berbicara mengenai tulis-menulis, akan saya suguhkan kembali apa yang ada di dunia perkuliahan. Penulisan karya ilmiah adalah suatu kegiatan dalam dunia perkuliahan. Dan hebatnya, angka penulisan karya ilmiah yang dipublikasikan pun masih sangat rendah. Jumlah publikasi ilmiah nasional dosen sebanyak enam persen, sedangkan publikasi ilmiah internasional dosen 0,2 persen. Salah satu buah dari tradisi ilmiah adalah karya ilmiah. Tradisi ilmiah yang telah dikembangkan diharapkan mampu menghasilkan karya ilmiah yang berkualitas bagi Indonesia (dan juga diharapkan bagi dunia). Terlebih bagi kita, mahasiswa dan dosen yang bergerak dan berkecimpung di dunia sains, akan sangat banyak penelitian yang bisa kita lakukan untuk kemudian dipublikasikan. Jauh lebih banyak dari orang-orang yang berkutat di bidang sosial, karena penemuan-penemuan ilmiah baru dapat muncul (baca : dibuat) setiap saat. Namun tetap saja tradisi ilmiah tetap perlu diterapkan dalam penelitian-penelitian ilmiah semacam ini. Perlu suatu penghargaan dan apresiasi bagi penelitian-penelitian ilmiah. Masih segar dalam ingatan saya bagaimana kasus (pembunuhan?) David Haryanto, mahasiswa NTU asal Indonesia. Penelitian-penelitian ilmiah seperti yang David lakukan selayaknya terus di-support, bukan berakhir tragis seperti apa yang dialami David. Dan untungnya di Indonesia (sejauh ini yang saya ketahui) belum ada kasus yang seperti dialami David.
Sebelum arah tulisan semakin bergeser dan menyimpang dari topik semula (karena saya pun muak dengan urusan kriminalisme), mari dikembalikan lagi ke jalan yang benar. Tulisan juga merupakan suatu indikator sukses tidaknya seseorang. Seseorang yang sukses biasanya banyak menulis jurnal, artikel-artikel ilmiah, dan membuat berbagai publikasi lainnya. Namun tulisan-tulisan ini selayaknya dibuat dengan cara yang benar, dengan cara yang ilmiah pula. Hipotesis, eksperimen, dan kesimpulan akhir adalah jalur yang tepat bagi kaum ilmiah. Tulisan yang dibuat berdasarkan eksperimen. Bukan hanya tulisan copy paste, ataupun eksperimen palsu. Tulisan-tulisan ini juga bukan tulisan yang dibuat orang lain, dan kemudian (dengan ancaman, kekuasaan, uang, atau apalah namanya) diambil hak publikasinya oleh dosen. Seorang guru bisa saja meninggal dunia suatu saat nanti, tetapi tulisannya akan terus mengajar sampai kiamat nanti. Seperti apa yang diutarakan oleh Francois Bacon : “Reading makes a full man, conference makes a ready man, and writing makes an exact man”.Karena itulah, diperlukan suatu dasar tradisi ilmiah yang kuat (dan tidak tercemar oleh nilai-nilai kecurangan) untuk menghasilkan suatu publikasi yang berkualitas. Karena dasar dari negara kita adalah Pancasila, sudah selayaknya kita tetap mengikuti dan berpegang pada Pancasila. Hakikat suatu penelitian jika dihubungkan dengan Pancasila, penelitian adalah suatu kegiatan telaah yang taat kaidah, bersifat obyektif dalam upaya untuk menemukan kebenaran dan menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Dalam suatu kegiatan penelitian seluruh unsur dalam penelitian senantiasa mendasarkan pada suatu paradigma tertentu, baik permasalahan, hipotesis, landasan teori maupun metode yang dikembangkannya. Dalam khasanah ilmu pengetahuan terdapat berbagai macam bidang ilmu Pengetahuan yang masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri, karena paradigma yang berbeda. Bahkan dalam suatu bidang ilmu terutama ilmu sosial, Antropologi dan politik terdapat beberapa pendekatan dengan paradigma yang berbeda, misalnya pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Dasar-dasar nilai dalam Pancasila menjiwai moral peneliti sehingga suatu penelitian harus bersifat obyektif dan ilmiah. Seorang peneliti harus berpegangan pada moral kejujuran yang bersumber pada ketuhanan dan kemanusiaan. Suatu hasil penelitian tidak boleh karena motivasi uang, kekuasaan, ambisi atau bahkan kepentingan primordial tertentu. Selain itu asas manfaat penelitian harus demi kesejahteraan umat manusia, sehingga dengan demikian suatu kegiatan penelitian senantiasa harus diperhitungkan manfaatnya bagi masyarakat luas serta peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Artinya adalah bahwa Tradisi ilmiah (dan juga buah-buah yang dihasilkan) tidak boleh lepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Sebagai makhluk Tuhan yang memiliki tradisi ilmiah yang berjiwa Pancasila, mari kita simak ciri-ciri yang menonjol dari tradisi ilmiah :
1.Berbicara atau bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan.
2.Tidak bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian terhadap sesuatu sebelum mengetahuinya dengan baik dan akurat.
3.Selalu membandingkan pendapatnya dengan pendapat kedua dan ketiga sebelum menyimpulkan atau mengambil keputusan.
4.Mendengar lebih banyak daripada berbicara.
5.Gemar membaca dan secara sadar menyediakan waktu khusus untuk itu.
6.Lebih banyak diam dan menikmati saat-saat perenungan dalam kesendirian.
7.Selalu mendekati permasalahan secara komprehensif, integral, objektif, dan proporsional.
8.Gemar berdiskusi dan proaktif dalam mengembangkan wacana dan ide-ide, tapi tidak suka berdebat kusir.
9.Berorientasi pada kebenaran dalam diskusi dan bukan pada kekenangan.
10.Berusaha mempertahankan sikap dingin dalam bereaksi terhadap sesuatu dan tidak bersikap emosional dan meledak-ledak.
11.Berpikir secara sistematis dan berbicara secara teratur.
12.Tidak pernah merasa berilmu secara permanen dan karenanya selalu ingin belajar.
13.Menyenangi hal-hal yang baru dan menikmati tantangan serta perubahan.
14.Rendah hati dan bersedia menerima kesalahan
15.Lapang dada dan toleran dalam perbedaan.
16.Memikirkan ulang gagasannya sendiri atau gagasan orang lain dan senantiasa menguji kebenaran.
17.Selalu melahirkan gagasan-gagasan baru secara produktif.
Apa yang terlihat pada ciri-ciri itu adalah nuansa yang kuat tentang keyakinan, kepastian, fleksibilitas, dinamika, pertumbuhan, kemerdekaan, kebebasan, dan keakraban. Mereka yang hidup dalam sebuah komunitas dengan tradisi ilmiah yang kokoh meraskan kemandirian, aktualisasi diri, kebebasan, kemerdekaan, tapi juga menikmati perbedaan, tantangan, dan segala hal yang baru. Mereka juga telah menelusuri detail dan kerumitan, sabar dalam ketidakpastian, dingin dalam kegaduhan, tapi sangat percaya diri dalam mengambil keputusan.
Jumat, 09 April 2010
TraDisi ILmiAh
Post by Ryan Adityanovic at 04.35 0 Comment
Category College World , Tugas
Langganan:
Postingan
(
Atom
)